Woro Woro Wara Wiri

Bagi Kamu-Kamu yang Pro Dengan Kebebasan dan Tidak Mau Dijajah..
Ingatlah..
Untuk Tetap Selalu Golput..!!
Mulai Hari Ini Sama-Sama Kita Nyatakan..
"Kita Memilih Untuk Tidak Memilih di PEMILU 2009"

Jangan Pernah Mau Dipimpin Oleh Rezim yang Selalu Mengangkang Pada Modal Asing..!!!!!!


-do not be the slave in our motherland-

lets kick our stupid bureaucration..!!

change them with people solidarity to our liberation..!!

-SaLaM-

Saturday, March 15, 2008

Agama : Jalan Hidup Atau Gaya Hidup

Kapitalisme ternyata bukan hanya berorientasi dalam lingkungan pasar tetapi juga merambah kepada kehidupan beragama, parahnya tidak hanya sebagai simbol budaya liberal tapi juga sebagai dasar pijakan budaya pragmatis.
Beragama dalam belenggu kapitalisme, agaknya sangat sulit diartikan apabila kita belum mengerti sepenuhnya tentang kapitalisme itu sendiri. Fachrizal A Halim menjelaskan bahwa kapitalisme bukan hanya suatu sistem ekonomi yang bertujuan untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya namun menggunakan modal yang sekecil-kecilnya, tetapi juga suatu sistem yang telah membudaya dan tidak membebaskan, membuat ketergantungan namun tidak mensejahterakan.

Budaya kapitalisme juga ternyata tidak hanya mampu mempengaruhi style hidup seseorang, namun juga dapat mempengaruhi pola pikir seseorang dalam mempraktikkan ajaran dan nilai-nilai agama yang juga berbeda. Sehingga kondisi seperti ini menjadikan seseorang sebagai subjek otonom yang merasa terlepas dari konteks generalnya. Gaya pikir seperti itulah yang lama-kelamaan dapat menimbulkan watak untuk memprivatisasi agama dalam menganalisis agama itu sendiri baik dari segi penghayatan maupun dalam praktik-praktik ibadahnya .

Alumnus Universitas Gadjah Mada Fakultas Ilmu Filsafat ini juga menyimpulkan bahwa banyak konsep kehidupan mapan yang telah dikaji ulang ternyata diciptakan oleh kapitalisme. Namun, penulis tidak bisa menyebutkan gambaran-gambaran nyata tentang praktek tersebut didalam kehidupan kekinian.
Kapitalisme tidak hanya menyebabkan masyarakat berorientasi pada pasar secara bertahap, namun juga mempengaruhi cara pandang lama tentang praktek kehidupan yang kini dituntut untuk lebih memiliki relevansi terhadap standar nilai yang diciptakan oleh kapitalisme. Sehingga menggeser agama dari posisi semulanya sebagai sumber nilai dalam pembentukan gaya hidup, menjadi instrumen bagi gaya hidup.
Sebagai perumpamaan ibadah haji dan umrah yang dikemas sebagai wisata religius, merupakan salah satu contoh kekinian yang telah membuktikan bahwa suatu praktik ibadah tidak hanya menjadi persoalan ibadah semata-mata, tetapi juga telah dirasuki untuk dijadikan sebagai komoditi yang dapat dijadikan nilai jual sehingga mampu menghasilkan keuntungan dari ibadah tersebut.

Naik haji yang seharusnya dijadikan sebagai kewajiban bagi setiap muslim untuk menunaikannya kini telah diracik sesuai dengan kemampuan dan daya beli konsumen untuk melakukan praktek ibadah tersebut, dengan berbagai fasilitas yang ditawarkan dalam menjamin kepuasan juga turut membentuk diferensiasi individu dan kelompok sosial dalam membentuk kelas-kelas tertentu yang menyebabkan adanya suatu diferensiasi diantara sesama orang yang menunaikan ibadah. hal-hal tersebut itulah yang sesungguhnya telah meruntuhkan esensi beribadah haji tersebut yang pertamanya diawali dengan niat lillahi ta’alla namun diakhiri d engan watak gengsi.
Agama yang seharusnya memiliki otoritas formal dan sanksi hukum yang mengikat individu dan sudah berjalan selama berabad-abad tersebut kini terancam musnah dikarenakan terlalu banyaknya pluralitas dalam menganalisis agama secara subjektif dengan cara mencocokkan dengan kebutuhan perseorangan.
Representasi budaya kapitalisme seperti gaya hidup konsumerisme dan gaya hidup hedonistis, telah menanamkan arti penting identitas bagi individu modern. Hal tersebut menjadikan agama dapat secara leluasa ditampilkan dalam berbagai realitas yang telah dengan sengaja diciptakan dengan berbagai macam citra. Sehingga banyak individu yang berusaha untuk berlomba-lomba dalam mengambil bentuk keagamaan sesuai dengan semangat perbedaan dan kepentingan penguatan identitas. Penulis juga menjelaskan tentang praktik-praktik sekularisasi, yang menjelaskan bahwa agama atau tradisi yang sebelumnya telah memiliki suatu sistem nilai yang mapan ditinjau kembali dan dikontekstualisasikan dengan kebutuhan masing-masing penganutnya.
Beragam macam variasi kebutuhan terhadap agama secara tidak sengaja telah melemahkan genggaman agama terhadap masyarakat secara keseluruhan. agama tidak lagi identik dengan keselamatan akhirat, tetapi lebih menguat kepada kekuatan rill yang terpilah-pilah sebagai wilayah ekonomi politik, dan sosial budaya . Namun Halim tidak menjelaskan tentang kenyataan keberadaan masyarakat sekular itu sebenarnya.
Sebenarnya kapitalisme tidak hanya menyerang subjeknya dengan merubah gaya hidup dan pola pikirnya saja, tetapi juga melalui perangkat media dapat dengan leluasa mengobrak-abrik otoritas suatu keagamaan seperti Vatikan yang pernah diguncangkan oleh seorang Madonna melalui judul lagunya “like a prayer”, yang merepresentasi dikotomi perawan dan pelacur, salib, jubah pastur, seks interrasial, dan masturbasi digereja dengan sosok yang mirip Kristus.
Otomatis lagu Madonna tersebut memancing murka Paus secara khusus, namun justru hal yang sangat kontradiktif justru sangat antusias terhadap lagu tersebut. Hal tersebut telah membuktikan, bahwa sebenarnya kapitalisme bukan saja memberikan masyarakat suatu kebebasan, tetapi juga dapat menciptakan kebebasan-kebebasan baru didalam kehidupan, walaupun apabila dianalisa kembali, bahwa kebebasan yang ditawarkan tidak membebaskan, malah memberikan suatu ketergantungan untuk terus mengikuti gaya hidup liberal yang tak lain adalah produk asli dari kapitalisme itu sendiri.
Dalam buku ini penulis juga dengan tegas menjelaskan bahwa kapitalisme tidak hanya merambah kedalam kehidupan pasar modal saja melainkan juga sosiologi setiap individu didalam kemasyarakatan. Bahkan agama yang ditafsirkan dengan cara subjektif juga akan menampilkan suatu wajah baru dari kapitalisme itu sendiri. Sebagai perbandingan pada masa kekinian yaitu terlalu banyaknya partai politik yang mengembel-embeli agama sebagai dasar, bahkan lebih sebagai ideologi. Namun pada kenyatannya itu semua hanya bertujuan sebagai alat penarik massa, untuk memasukkan deal-deal politiknya.
Hal itu membuktikan bahwa agama dapat juga dijadikan sebagai modal untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya, dimana massa sebagai keuntungannya. Tapi ternyata setelah maksud tercapai mereka tidak lagi memikirkan kondisi massa yang telah mereka ekspansi.
Oleh karena itu kapitalisme tidak hanya menyebabkan agama sebagai alat untuk melakukan proses ekspansi terhadap massa melainkan juga sebagai akar dari kebudayaan pragmatis yang telah melarikan agama sejauh mungkin dari esensi sebenarnya yaitu sebagai media peribadatan untuk menyampaikan rasa syukur kepada sang Khaliq. Tetapi justru malah memberikan suatu tekanan untuk mencari unsur keuntungan dari agama untuk memakmurkan diri pribadi.

Write Your Comment About My Spectacle's or My Blog